eparrphepavacuum.com – Di era digital saat ini, kehadiran virtual influencer atau tokoh digital buatan komputer semakin mencuri perhatian industri hiburan. Mereka bukan manusia sungguhan, namun memiliki kepribadian, gaya hidup, dan interaksi layaknya selebriti nyata. Salah satu contoh sukses adalah Lil Miquela, karakter virtual yang memiliki jutaan pengikut dan bekerja sama dengan berbagai merek global.
Fenomena ini tidak hanya menjadi tren di luar negeri, tetapi juga mulai muncul di Indonesia. Beberapa agensi kreatif menciptakan tokoh virtual untuk keperluan iklan, musik, bahkan sebagai host acara digital. Dengan memanfaatkan teknologi AI dan animasi 3D, tokoh ini dapat dikontrol sepenuhnya oleh tim kreatif, memungkinkan narasi dan citra yang konsisten serta bebas dari skandal seperti yang biasa menimpa selebriti manusia.
Namun, kehadiran virtual influencer juga menimbulkan pertanyaan etis. Apakah audiens berhak tahu bahwa tokoh yang mereka ikuti tidak nyata? Bagaimana dampaknya terhadap standar kecantikan, identitas, dan keaslian di media sosial? Di sisi lain, banyak pihak menilai ini sebagai bentuk inovasi yang memberikan alternatif baru dalam dunia hiburan yang semakin kompetitif.
Dari sisi pemasaran, virtual influencer dianggap efisien karena sepenuhnya bisa dikontrol—tidak ada risiko perilaku buruk, keterlambatan, atau permintaan bayaran mahal. Mereka dapat hadir 24 jam di berbagai platform dan berbicara dalam banyak bahasa. Di masa depan, diperkirakan akan semakin banyak film, acara TV, dan kampanye iklan yang menghadirkan tokoh-tokoh digital sebagai bagian dari kontennya.
Fenomena ini membuktikan bahwa batas antara realitas dan virtual semakin kabur. Hiburan tidak lagi hanya milik manusia, tetapi juga ciptaan algoritma dan kreativitas digital.