The Velvet Sundown Mengaku Pakai AI, Kontroversi Band Viral di Spotify

eparrphepavacuum.com – Dalam beberapa minggu terakhir, dunia musik digemparkan oleh kemunculan The Velvet Sundown, sebuah band indie rock yang dengan cepat meraih lebih dari satu juta pendengar bulanan di Spotify. Namun, di balik kesuksesan mereka yang mendadak, muncul spekulasi bahwa band ini bukanlah band sungguhan, melainkan proyek yang dibuat dengan bantuan kecerdasan buatan (AI). Setelah berminggu-minggu penuh kontroversi dan penyangkalan, The Velvet Sundown akhirnya mengaku melalui bio Spotify mereka bahwa musik mereka memang dihasilkan dengan bantuan AI. Artikel ini akan membahas perjalanan band ini, kontroversi yang menyertainya, dan dampaknya terhadap industri musik.

Awal Kemunculan The Velvet Sundown

The Velvet Sundown pertama kali muncul pada awal Juni 2025 dengan merilis dua album, Floating on Echoes (5 Juni) dan Dust and Silence (20 Juni), serta mengumumkan album ketiga, Paper Sun Rebellion, yang rencananya dirilis pada 14 Juli 2025. Dengan gaya musik yang menggabungkan elemen rock psikedelik tahun 1970-an, folk, dan alt-pop modern, band ini dengan cepat menarik perhatian. Lagu mereka yang berjudul Dust on the Wind bahkan menduduki peringkat pertama di tangga lagu Viral 50 Spotify di Inggris, Norwegia, dan Swedia antara 29 Juni hingga 1 Juli 2025.

Namun, kesuksesan ini diiringi oleh kecurigaan. Tidak ada jejak digital yang jelas tentang anggota band—Gabe Farrow (vokalis), Lennie West (gitaris), Milo Rains (bassis-sintesis), dan Orion “Rio” Del Mar (perkusionis). Tidak ada wawancara, penampilan langsung, atau akun media sosial pribadi yang dapat dilacak. Foto-foto band yang diunggah di Instagram tampak terlalu mulus dan memiliki ciri-ciri gambar yang dihasilkan AI, seperti pencahayaan yang tidak wajar dan ekspresi wajah yang tampak kosong.

Kontroversi dan Penyangkalan

Awalnya, The Velvet Sundown menyangkal tuduhan bahwa mereka adalah band yang dihasilkan AI. Melalui akun X mereka, band ini mengklaim bahwa musik mereka diciptakan “di malam-malam penuh keringat di sebuah bungalow sempit di California dengan instrumen nyata, pikiran nyata, dan jiwa nyata.” Mereka menuduh media yang menyebut mereka sebagai band AI sebagai “jurnalis malas” yang tidak melakukan riset mendalam.

Namun, kecurigaan terus meningkat setelah platform streaming Deezer, yang memiliki alat pendeteksi AI, menandai lagu-lagu The Velvet Sundown sebagai “100% dihasilkan AI.” Reddit dan TikTok juga menjadi tempat diskusi panas, dengan pengguna menunjukkan kejanggalan seperti lirik yang klise, foto band yang tampak artifisial, dan kurangnya bukti keberadaan fisik band.

Puncak kontroversi terjadi ketika seseorang yang mengaku sebagai juru bicara band, Andrew Frelon, memberikan pernyataan kepada Rolling Stone bahwa musik mereka dibuat menggunakan platform AI bernama Suno. Namun, tak lama kemudian, akun resmi The Velvet Sundown menyangkal keterlibatan Frelon, menyebutnya sebagai penipu yang mencoba membajak identitas band. Frelon sendiri akhirnya mengakui bahwa dia tidak memiliki hubungan dengan band dan bahwa pernyataannya adalah bagian dari “hoax seni” untuk memicu perhatian media.

Pengakuan Resmi: Proyek Musik Sintetis

Pada Sabtu, 5 Juli 2025, The Velvet Sundown akhirnya mengklarifikasi spekulasi melalui pembaruan bio Spotify mereka. Mereka menyebut diri mereka sebagai “proyek musik sintetis yang dipandu oleh arahan kreatif manusia, dan diciptakan, disuarakan, serta divisualisasikan dengan dukungan kecerdasan buatan.” Pernyataan ini menyebut proyek mereka sebagai “provokasi seni yang berkelanjutan” yang dirancang untuk menantang batasan kepenulisan, identitas, dan masa depan musik di era AI.

Bio mereka juga menegaskan bahwa semua karakter, cerita, musik, vokal, dan lirik adalah kreasi asli yang dihasilkan dengan bantuan alat AI, dan kemiripan dengan orang, tempat, atau peristiwa nyata hanyalah kebetulan. Dengan pengakuan ini, The Velvet Sundown tidak lagi menyembunyikan fakta bahwa mereka adalah ciptaan AI, tetapi justru memposisikan diri sebagai eksperimen seni yang memancing diskusi tentang peran teknologi dalam kreativitas.

Reaksi dan Dampak

Pengakuan ini memicu beragam reaksi. Sebagian orang, seperti Byron de Marsé, seorang instruktur yoga dari Oklahoma, tidak peduli dengan asal-usul AI dan tetap menggunakan lagu seperti Drift Beyond the Flame karena suasana emosionalnya yang cocok untuk kelas yoga. Namun, banyak musisi dan kritikus musik mengungkapkan kekhawatiran. Stu Cook, bassis dari Creedence Clearwater Revival, menyebut musik The Velvet Sundown “membosankan” dan tidak memiliki jiwa yang menginspirasi. Kritikus musik Darryl Sterdan juga menyebut musik mereka “generik” dan “mudah dilupakan,” menyoroti kurangnya kedalaman emosional yang biasanya ada pada karya manusia.

Dr. Fabian Stephany dari Universitas Oxford memperingatkan bahwa menyamarkan musik buatan AI sebagai karya manusia dapat mengikis kepercayaan publik, terutama di era di mana keaslian menjadi nilai yang sangat dihargai. Ia juga menyoroti isu hukum terkait pelatihan model AI dengan materi berhak cipta, yang masih menjadi perdebatan apakah itu termasuk penggunaan wajar atau pelanggaran.

Selain itu, kemunculan The Velvet Sundown menimbulkan pertanyaan tentang praktik Spotify. Banyak yang menduga bahwa kesuksesan band ini didorong oleh manipulasi playlist atau algoritma Spotify, karena lagu-lagu mereka muncul di playlist populer seperti Vietnam War Music dan Good Mornings – Happily Positive Music to Start the Day. Mantan data alchemist Spotify, Glenn McDonald, menyebutkan bahwa platform ini kini lebih mengandalkan algoritma daripada kurasi manusia, yang memungkinkan proyek seperti The Velvet Sundown mendapatkan tempat di playlist dengan ratusan ribu pengikut.

Implikasi untuk Industri Musik

Kisah The Velvet Sundown menyoroti tantangan baru dalam industri musik di era AI. Spotify, yang tidak mewajibkan artis untuk mengungkapkan penggunaan AI, menghadapi kritik karena kurangnya transparansi. Sementara itu, Deezer telah mengambil langkah dengan menandai konten AI menggunakan alat deteksi mereka.

Beberapa pihak, seperti CEO Suno, Mikey Shulman, berpendapat bahwa fokus seharusnya bukan pada apakah musik itu dibuat oleh AI, tetapi pada bagaimana musik itu membuat pendengar merasa. Namun, laporan dari Harper’s Magazine menyebutkan bahwa platform seperti Spotify mungkin menggunakan “artis hantu” untuk mengurangi pembayaran royalti, yang dapat merugikan musisi sungguhan hingga 24% pendapatan mereka pada 2028 jika tidak ada perlindungan terhadap AI.

Di sisi lain, ada pula yang melihat potensi positif AI dalam musik. Seperti yang ditunjukkan oleh artis seperti Timbaland, yang meluncurkan artis AI bernama TaTa, teknologi ini dapat menjadi alat kreatif bagi musisi. Namun, tanpa regulasi yang jelas, risiko eksploitasi dan penipuan tetap ada.

The velvet Sundown telah mengguncang dunia musik dengan kesuksesan viral mereka, sekaligus memicu debat tentang peran AI dalam kreativitas. Dengan mengaku sebagai proyek musik sintetis, mereka tidak hanya menantang persepsi tentang apa itu band, tetapi juga mengundang kita untuk merenungkan batasan antara manusia dan mesin dalam seni. Meskipun musik mereka mungkin tidak memiliki jiwa yang mendalam seperti karya musisi manusia, popularitas mereka menunjukkan bahwa pendengar sering kali lebih peduli pada pengalaman mendengarkan daripada asal-usulnya. Namun, tanpa transparansi dan regulasi yang tepat, fenomena seperti The Velvet Sundown dapat mengubah lanskap industri musik—baik untuk kebaikan maupun tantangan baru.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *